Di dunia ini tidak ada yang abadi. Sebuah perusahaan yang dulunya
raja di bidangnya, kini perlahan turun kastanya. Firman Allah dalam
Al-Quran Surat Ali-Imran: 26–27 tentang kehendak bebas-Nya untuk
mengangkat dan menurunkan para penguasa, juga berlaku di dunia
teknologi. RIM (Research in Motion) salah satu contohnya.
Meskipun rubrik ini bertajuk “Ngopi di Silicon Valley”, tapi saya
tidak membatasi diri hanya pada topik-topik seputar perusahaan di Lembah
Silikon. Rugi sekali kalau begitu. Karena ada begitu banyak perusahaan
di luar California, atau bahkan di luar Amerika Serikat, yang
pergerakannya justru sangat mempengaruhi strategi bisnis
perusahaan-perusahaan di Lembah Silikon. Salah satu perusahaan besar
yang layak masuk kategori itu adalah Research in Motion alias RIM.
Perusahaan teknologi yang kantor pusatnya di Kanada ini adalah “ibu
kandung” BlackBerry, ponsel cerdas ratusan juta penduduk bumi saat ini.
Anda, pembaca setia Majalah Pengusaha Muslim, mungkin salah satunya.
RIM, DULU INOVATOR
Ketika RIM didirikan pada dekade 1980-an, Mike La-zaridis dan
rekan-rekan merasakan nikmatnya – sekaligus tegangnya – berada di
lingkungan perusahaan berstatus “sang inovator”. Sewaktu RIM
mengeluarkan BlackBerry mungkin tidak sedikit orang yang mencerca konsep
tombol QWERTY dan trackball khasnya.
Apa? QWERTY dan trackball? Memangnya orang mau menulis novel atau
laporan tahunan di ponsel mereka? Dan itu masih belum cukup. Kritik lain
juga datang menghinggapi konsep BBM (BlackBerry Messenger) dan sistem
lalu lintas data antar-BlackBerry mereka yang membutuhkan server
terdedikasi untuk menjalankannya.
Hei? Bagaimana dengan keamanan data para penggunanya? Bukankah ini
memberikan peluang RIM untuk mengakali penggunanya sendiri? Dan
seterusnya.
Walau kritik dan keraguan terus berdatangan, RIM tetap melaju. RIM
tetap merilis dan menjual produknya: BlackBerry. Apa pun pendapat para
pengamat tentang RIM. Salah satu alasan kuat yang membuat
insinyur-insinyur elektro asal Kanada itu tetap bersemangat dengan
konsep mereka semula adalah target pasar BlackBerry sendiri. Yakni
kalangan korporat. Bagi RIM, kalangan berdasi dan berdompet tebal inilah
konsumen empuk untuk produk ponsel cerdasnya. Selain tech-savvy,
biasanya kalangan korporat juga suka dengan hal-hal berbau
eksklusivitas. Dengan kata lain, kalangan ini cenderung menyukai
keunikan pada barang-barang yang mereka gunakan. Tidak terkecuali pada
ponsel.
Seiring berjalannya waktu, BlackBerry yang terkenal dengan keypad
QWERTY, trackball, push email, dan server terdedikasi, justru
melesat kencang. Di dunia korporat di seluruh dunia, demam BlackBerry
mulai mewabah. Perusahaan-perusahaan besar di AS yang terkenal sangat
cinta dengan kecanggihan, ternyata juga bisa menerima konsep ponsel
cerdas BlackBerry buatan insinyur dari negara tetangganya. Begitu pula
di Eropa dan Asia. Semua orang tampaknya gila dengan QWERTY di Curve
atau Bold.
Di Indonesia, hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi. BlackBerry,
yang awalnya hanya mewabah di kalangan segelintir eksekutif muda yang
berkantor di kawasan Sudirman atau Kuningan, ternyata justru merambat ke
seluruh lapisan masyarakat. Awalnya demam BB – sebutan khusus
BlackBerry di negeri ini – memang hanya menjangkiti kota-kota besar di
Indonesia, dengan pemakai utamanya adalah sebagian besar orang
berpendapatan tinggi seperti anggota Dewan, direktur perusahaan dan
artis ibukota.
Tapi, entah kenapa, perlahan namun pasti, tren menggunakan BB mampu
membius masyarakat di daerah lain yang dari segi administratif pun
sebenarnya belum layak disebut kota metropolitan.
Bila dulu BB hanya dipakai kalangan tertentu, sekarang ceritanya
berbeda. Hari ini BB tidak hanya dipakai anggota Dewan yang kaya. Tetapi
juga oleh mahasiswa atau pelajar SD, SMP, SMA yang masih mengais uang
dari orangtuanya. Bahkan yang lebih lucu, banyak juga pengangguran di
negeri ini yang memakai BB. Singkat kata, di Indonesia, BlackBerry
sedang dalam masa-masa turun. Bukan volume penjualannya, melainkan
citranya. Ini berbahaya, karena hal serupa juga pernah dialami beberapa
produk bermerek terkenal di Indonesia. Contoh Dagadu. Dulu kaos
Dagadu sempat sangat terkenal di Gorontalo dan beberapa kota besar lain
di Indonesia. Tapi lambat laun popularitasnya menurun. Bukan karena
kualitas bahan kaos dan sablonnya, melainkan tempat memperolehnya.
Konsumen mencintai kaos Dagadu yang hanya bisa dibeli secara eksklusif
di Yogya. Tapi kini tidak terjadi lagi. Kaos Dagadu bisa juga dibeli di
pasar tradisional atau mall. Konsumen pun mulai berpandangan lain.
RIM, KABARMU KINI
Dari Kanada, berdasarkan laporan kuartal terakhir per Maret 2012,
perusahaan yang juga merambah pasar tablet dengan seri Playbook ini
dikabarkan sedang mengalami masa-masa yang tidak bagus. RIM mengalami
kerugian 125 juta dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun (asumsi 1 dolar AS =
Rp 8.500). Jumlah yang tidak sedikit, tentunya. Selain itu, jumlah
BlackBerry yang dikapalkan juga menurun. Yakni hanya 11,1 juta handset.
Turun 21% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Untuk membuat keadaan tambah sulit, laporan menyedihkan seperti itu
justru muncul saat para pesaingnya justru mengalami pasang naik luar
biasa. Apple, yang berada di balik iPhone dan iOS, dikabarkan berhasil
meraup pendapatan yang meningkat sampai 133%. Begitu pula Android yang
didukung Google beserta hampir semua vendor ponsel terkemuka, semua
mengalami peningkatan.
SEKARANG RIM FOLLOWER
Setidaknya memang begitu. Sejak Steve Jobs merilis iPhone pada 2007
dengan konsep layar sentuh total – yang sangat berseberangan dengan
konsep QWERTY pada ponsel BlackBerry – plus dirilisnya ponsel G1
berbasis Android oleh T-Mobile dan Google setahun berikutnya, banyak
kalangan yang dulunya mendukung RIM dengan BB-nya kemudian berbalik
haluan. Salah satu senjata maut andalan Apple dan Google untuk memukul
BlackBerry adalah dari sisi ketersediaan aplikasi alias App. Apple lebih
dulu melesat dengan Apple Apps Store. Sementara Google melaju kemudian
dengan Google Play (dulunya Android Market). Kedua ekosistem pasar
aplikasi inilah yang diyakini menyebabkan ponsel cerdas seperti
BlackBerry dirasa tidak cerdas lagi. Setidaknya tidak secerdas dulu
ketika pesaingnya hanya Nokia dengan Symbian-nya atau feature phone
dengan sistem operasi BREW-nya.
Lucunya, konsumen juga melihat RIM seperti panik dan kebakaran
jenggot. Perusahaan yang dulunya berstatus inovator, sekarang malah
berbalik sebagai pengikut. Saat ini, apa-apa yang dirilis RIM tampaknya
sudah tidak orisinal lagi. Ponsel layar sentuh seri Storm yang mirip
iPhone, tablet layar sentuh Playbook yang mirip iPad dan Motorola Xoom,
kemudian yang terakhir, aksesori keyboard untuk Playbook yang juga
mengingatkan orang pada keyboard milik Asus Transformer. Suka atau
tidak suka, beberapa device tadi adalah contoh sekaligus bukti nyata
bahwa RIM sepertinya sudah lupa dengan apa yang mereka lakukan puluhan
tahun lalu: Menjadi Inovator!
Wahai pengusaha Muslim, jangan cepat lengah dengan kesuksesan sekarang. Keep inovating, or you’ll be dying!
Sumber: Majalah Pengusaha Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar