Pertanyaan:
Bismillah. Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah teras luar
masjid termasuk masjid yang kita dilarang berjualan di situ? Dan apa
batasan suatu itu termasuk bagian dari masjid? Tolong dijawab, ustadz,
karena di tempat ana terjadi konflik tentang masalah tersebut.
Jazakallahu khairan.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Tidak diragukan lagi bahwa masjid didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ
وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ
وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن
ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ
يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار
“Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk
dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih
(menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut
pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi
goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).
Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan
peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan
dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan
pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk
berniaga.
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).
Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ
ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى
الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن
يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada
Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).
Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ
يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ
وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ
الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam
masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan
keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang
mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah
kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih dalam Irwa’ul Ghalil, 5/134, no. 1295).
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di
dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau
pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam
Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).
Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual-beli di dalam masjid.
Adapun teras masjid yang ada di sekeliling masjid, bila berada dalam
satu kompleks (areal) dengan masjid –karena masuk dalam batas pagar
masjid–, maka tidak diragukan hukum masjid berlaku padanya. Hal ini
karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ
لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي
الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ
فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ
مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata.
Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang
diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka
barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama
dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam
hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya
bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di
sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya
akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki
wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah
hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).
Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau
terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang, maka hukum masjid tidak
berlaku padanya. Demikianlah yang difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa
Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, pada Fatwa no. 11967. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.
Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A [Penasihat Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia]
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-10, 1431 H/ 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar